Aku
adalah perempuan terpandang di desa ini. Gadis tercantik dengan sebutan “bunga
desa”. Puteri bapak camat, orang terkemuka di daerah ini. Hari itu, ya... masih
kuingat jelas kejadian hari itu. Saat aku bersolek genit, bak gadis kecil
meniru dandanan boneka barbie. Bukan... aku bukan bermain-main, bukan pula
hendak pergi ke pesta. Aku hanya akan duduk manis di ruang tamu. Hari ini, abah
bilang bahwa lelaki itu akan datang melamarku. Aku masih duduk di depan meja
rias, mamatut matut diri di cerminnya. Meski kadang terbesit rasa tegang,
cemas, khawatir, namun kutepis semua itu. Namun masih terngiyang pertanyaan
itu, “pantaskah dia untukku”? terdengar jahat memang, seolah aku
merendahkannya. Tapi bukan itu maksudku. Ah, kenapa harus pertanyaan itu yang
bergelantungan di otakku saat ini?
“sudah
siap nduk”? tanya umi
“insyaallah
mii, Zahra siap” jawabku
Umi memelukku hangat, mengusap kepalaku penuh kelembutan, kemudian menggandeng tanganku sembari berjalan keluar kamar, menuju ruang tamu. Di sana, di atas sofa merah marun, di hadapan abah, lelaki pilihan abah untukku duduk gagah tegap, tenang. Adapun aku, aku tak kuasa menatapnya. Aku hanya bisa menundukkan wajah, malu rasanya jika harus bersitatap dengannya. Tiba tiba cerita orang-orang berbisik keji menghampiri. “dia kan anak rantau, lama tinggal di Jogja, tidak ada yang tahu apa saja yang sudah dilakukannya di sana. Siapa tahu dia sudah punya banyak pacar, atau bisa jadi punya istri atau bahkan simpanan.” Sering memang kupikirkan kalimat-kalimat itu. Kalimat yang terlontar dari mulut mereka yang lebih mengenalnya dibanding aku. Dan sekali lagi aku mengacuhkannya, kutepiskan semua keraguan. Kuganti dengan kemantapan dan keyakinan. Aku duduk di antara abah dan umi. Dia menatap bapak penuh keyakinan, dengan tegas berkata “saya membawa cincin emas permata untuk adik Zahra, jikalau berkenan menerima lamaran saya, silahkan diterima sebagai azimat cinta saya padanya” ujarnya sembari tersenyum lugas, menatapku lamat. Aku hanya duduk termangu tersipu malu, diam.
“sukutul
mar’ah jawabu na’am, diamnya perempuan berarti menjawab iya” sahut umi
mencairkan suasana.
“alhamdulillah”
ujar lelaki itu.
Abahpun menerima cincin emas permata
itu, memberikannya pada ibu, yang kemudian disematkannya di jari manis tangan
kananku. Azimat cintanya kini terpatri padaku. Lelaki itu pamit, berkata akan
kembali lagi membawa sanak saudaranya kemari. Membahas tanggal dan acara
pernikahan. Terlalu singkat memang.
Lepas tiga hari, Nanik datang ke rumahku, dia sahabat karibku. Dia yang selama ini mengerti aku, hanya dia yang tahu kegundahanku dalam perkara ini.
“gimana
Ra? Sudah kau terima lamarannya? Berjalan lancar kan?”
“alhamdulillah
Nik, sebulan lagi dia akan datang bersama sanak saudaranya, membahas acara
pernikahan.”
“tapi
Ra, sudahkah kau fikirkan perkataan banyak orang itu? Dia sudah banyak
bercengkrama dengan banyak perempuan di rantau, punya pacar, punya istri atau
bisa jadi punya simpanan.”
“takku
hiraukan Nik, sudah kutepis. Sudah bulat tekat ini, dia memilihku, aku menerimanya”
“ini
Ra” Nanik mengulurkan selembar foto kepadaku.
“siapa
ini Nik? Kakakmu?” tanyaku selepas melihat gambarnya.
“bukan,
dia kerabatku, namanya Eko. Dia calon penglima TNI AL di Semarang, dia ingin
mengenalmu melebihi apa yang aku ceritakan tentangmu padanya.
“Nanik....
aku sudah di lamar” kataku sembari menjulurkan jari manis tangan kananku,
tempat cincin emas permata itu disematkan.
“Zahra...
cobalah kau berfikir rasional, kau itu dijodohkan, bukan asli saling sayang dan
cinta. Kau tak kenal siapa bang Arif, dia lama hidup di Jogja yang katanya kota
pelajar, tapi kenyataannya kita tak tahu apa apa.”
“izinkan
aku berfikir lebih jernih lagi Nik” jawabku lembut.
***
Hari itu, akhirnya abah setuju. Menyetujui permintaanku yang sempat ditolaknya. Aku memilih Eko, calon panglima TNI AL kerabat Nanik daripada bang Arif dosen muda salah satu kampus ternama di Jogja. Aku meminta abah mengembalikan cincin emas permata dari bang Arif. Walau sempat mengganjal di hati ini, seakan aku gadis tak tahu malu, gadis hina yang mengembalikan cincin emas permata dari lelaki yang melamarku. Tapi aku yakin itu keputusan terbaikku.
Bang Arif tak jadi datang bersama sanak saudaranya, ia datang seorang diri. Masih tetap tegap, tegas, walau tatapan matanya tak secerah saat melamarku dulu. Kali ini aku hanya berdiam diri di dalam kamar. Maafkan aku bang Arif, aku memang licik dalam urusan ini, aku lebih tergiyur pada calon panglima TNI AL daripada dirimu. Sekali lagi maafkan aku.
***
Tanggal 1 Suro 1436 H, kau datang bersilaturahim ke rumah abahku. Ketika itu juga aku sedang mudik bersama anak-anakku. Betapa terkejutnya aku. Istri dan anak-anak perempuanmu begitu cantik mempesona. Tak seperti suami dan anak-anak laki-lakiku yang tumbuh bak berandalan. Menyesal kini kurasakan, mengapa dulu kukembalikan cincin emas permata azimat lamaranmu itu. Lihatlah, kau tetap gagah tegap, walau keriput sudah mereotkan sedikit kulitmu. Penyesalan selalu datang di belakang. Tapi aku tahu, ini semua pilihanku, karena ini terbaik untuk kita. Dan aku yakin kau pasti sudah tahu, bahwa aku sudah hamil terlebih dahulu sebelum pernikahanku dengan calon panglima TNI AL itu. Maafkan wanita hina nan keji ini. Kumohonkan Ilahi agar engkau bersama anak istrimu selamat dunia akhirat dalam lindungan Allah SWT. Begitu juga aku. meski terlambat kusadari kini, aku sadar akan kebesaran dan kebenaran Firman Allah. bukan, bukan dia yang tak pantas untukku, namun diri inilah yang terlalu hina untuknya.
Jepara
25 Oktober 2014
Comments
Post a Comment