Liebe Ayse
Du kennst mich, wir sehen uns
jeden Morgen im Strasse Bahn. Ein Morgen ohne dich ist wie ein Morgen ohne
Sonne!. Manchmal siehst du mich an, das macht sehr glucklich. Mein Herz klopft
dann sehr laut haare. du bist fur mich eine Traumfrau! Ich mochte dich kennen
lernen. Kommst du morgen um 19.30 Uhr ins Cafe Boheme bitte...
Viele liebe Grusse dein, Ahmed
Terkasihku Ayse
Kau mengenalku, kita bertemu
setiap pagi di kereta jalan kota. Satu pagi tanpamu bagaikan pagi tanpa
matahari. Kadang kala kita duduk bersampingan, itu membuatku merasa senang.
hatiku berdegup, kencang terdengar. Kamu adalah wanita idamanku! datanglah
besok malam jam 19.30 di kafe Boheme...
Dengan sepenuh cinta, Ahmed
Surat mungil itu adalah penyebab
adanya dia duduk bersanding di sampingku saat ini. Dia gadis sholihah berparas
secantik sang dewi, berperilaku lemah gemulai bak titisan bidadari syurgawi.
Dia yang kerap aku temui di strase Bahn (kereta jalan kota) setiap pagi saat
aku berangkat ke Pabrik. Lambat laun akhirnya aku tahu bahwa dia adalah teman
adik perempuanku Laila. Kerap kali aku menanyakan padanya tentang gadis itu.
“Namanya Ayse, Bruder” kata Laila. Sentak jantungku berdegup di atas normal.
“Nama yang mempesona” ujarku nyaris tak sadar.
Surat mungil itu, masih kuingat saat
aku menulisnya, tangan ini gemetar hebat. Persis di tanggal 21 Juni 2014 lalu,
kutitipkan surat mungilku ini pada Laila. Mereka mengabdikan diri bersama di Berlin Islamic Center . Bulan ini masih musim panas, matahari sedang “on
fire” mengencani bumi Hitler ini, baru akan tenggelam sekitar pukul sembilan malam
nanti. Pukul 19.00 aku sudah standby di halaman cafe, menanti tanda-tanda
kedatangan gadis manis itu. Gelisah, hanya itu rasa yang menemaniku saat ini. Gelisah jikalau
gadis manisku tak datang, namun juga gelisah karena pikiran memberontak
kekhawatiran hati, berteriak bahwa gadis manisku akan datang menemui.
Surat mungil itu, yang menghantarkan
gadis manisku melangkah menuju dekapan erat peluk senandung doaku. Kulirik jam
tangan yang melimgkar erat di tangan kiriku. Tepat pukul 19.29, aura kasihku
merasakannya, berdebar hebat hati jantung paru-paru lambung hingga pankreas
dalam tubuhku, bahkan hingga ke ubun-ubun. Langkah kakinya menyibak rok panjang
khas pakaian gadis Turki. Terlihat tergesa, ia pasti ingin datang tepat waktu, kebiasaan
masyarakat yang tinggal di sini, Jerman. Akupun perlahan mengikutinya masuk ke
dalam cafe. Dia duduk di meja no.3, baiklah sekarang aku percaya itu, nomer
favoritnya, seperti yang dikatakan Laila padaku. Aku bergegas menghampiri, tak
boleh terlambat ataupun terlalu cepat.
“entschuldigung, ist hier frei?”
“permisi, apakah di sini kosong?” tanyaku basa basi.
“permisi, apakah di sini kosong?” tanyaku basa basi.
“Ja, klar bitte”
“iya, kosong silahkan” jawabnya ramah, tak lupa dengan sesungging senyuman manis yang membuatku sedikit goyah dari pijakan kaki.
“iya, kosong silahkan” jawabnya ramah, tak lupa dengan sesungging senyuman manis yang membuatku sedikit goyah dari pijakan kaki.
“Ich bin Ahmed aus Indonesisch, Laila’s Bruder. Un du... musst
bist Ayse”
“aku Ahmed dari Indonesia, kakaknya laila, dan kamu pasti Ayse” tambahku seraya membenahi kursi, mengatasi rasa gugupku.
“aku Ahmed dari Indonesia, kakaknya laila, dan kamu pasti Ayse” tambahku seraya membenahi kursi, mengatasi rasa gugupku.
“Ja, ich heisse Ayse, ich komme aus de Turkei”
“ya, saya adalah Ayse, saya dari Turkei” jawabannya kali ini terdengar sangat formal, menandakan gadis berpendidikan.
“ya, saya adalah Ayse, saya dari Turkei” jawabannya kali ini terdengar sangat formal, menandakan gadis berpendidikan.
“was trinkst du? Kaffe oder Tee?”
“kamu mau minum apa? Kopi atau teh?” tawarku
“kamu mau minum apa? Kopi atau teh?” tawarku
“Tee”
“teh” jawabnya singkat
“teh” jawabnya singkat
“Zwei Tee, bitte”
“2 Teh ya” pesanku pada pelayan cafe.
“2 Teh ya” pesanku pada pelayan cafe.
Singkat, namun itulah yang selalu
kuingat. Pertemuan pertama kami, yang
tanpa aku sadari, ada empat mata mengintai kami hingga ijab syah pagi tadi. Tak
perlu panjang lebar lagi, aku tahu kalian sudah menebak siapa gadis manisku
itu. Ya, sekarang dialah permaisyuri dalam hidupku. Istriku, dialah tempat
berlingdung atas segala kejahatan syahwatku. Tempatku menanam benih ibadahku.
Tetaplah menjadi Ayse yang setiap hari kutatap lekat walau dalam diam. Dan dua
mata pengintai itu? Mereka adalah kedua orang tua Ayse, yang seraya menghampiri
kami saat itu juga. Lantas kuutarakan niat tulusku, melamar Ayse. “Tuhan memang
selalu tepat waktu” ujar Ayse lirih.
Taukah kalian? Ternyata Ayse sudah
lama menyimpan rasa cintanya padaku, bahkan bisa jadi sebelum aku merasakan
cinta itu bersemayam di hatiku. Maha Besar Tuhan kami yang menyatukan
makhlukNya dalam ikatan janji suci, cinta yang hakiki, menyatukan kami bernaung
dalam ridho Ilahi.
Berlin,
21 September 2014
***
salah satu cerpen yang lagi lagi mengisi rubrik buletin BUKIT jurusan KPI. semoga cerita ini dapat menginspirasi bagaimana kita menulis kisah cinta kita di kehidupan nyata ya gaes ^_^
arhamukum fillah :)
Comments
Post a Comment